Post-structuralism

Post-structuralism

konsep yang paling berpengaruh dalam teori post-strukturalisme:



1.  Discourse (bahasa)
    Para ahli post-structuralist beranggapan bahwa bahasa memegang peranan penting dalam melihat percaturan Internasional. Bahasa merupakan alat social yang mana tanpa mengerti susunan bahasa, tata bahasa dan maknanya, maka manusia tidak dapat berkomunikasi dengan manusia yang lain secara baik dan benar. Hal ini senada dengan pandangan Michael Foucault yang mempopulerkan sistem bahasa yang menghasilkan konsep dan pernyataan. Dilihat dari sudut pandangan politik, bahasa adalah alat yang paling penting karena politisi – dan actor-aktor lain yang memiliki kontribusi terhadap politik dunia – harus melegitimasi kebijakan luar negerinya kepada orang lain baik di dalam maupun di luar negeri. Kata-kata yang kita gunakan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang netral, dan pilihan-pilihan tersebut pastinya memiliki dampak-dampak politis. Hematnya, post-structuralist  beranggapan bahwa bahasa bukanlah perantara yang netral melainkan yang menghasilkan makna.

2.       Deconstruction
     Melihat bahasa sebagai susunan atau kumpulan tanda-tanda berarti kata-kata hanya dapat bermakna apabila memiliki kaitan dengan kata-kata yang lain. Bagi post-structuralist kata-kata merupakan struktur tanda-tanda yang tidak stabil karena hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain tidak pernah berlaku dan ditetapkan pada satu bentuk tertentu.
Jacques Derrida juga menambahkan bahwa teori De-construction bahwa bahasa dibuat berdasarkan dikotomi, seperti berkembang dan tidak berkembang, modern dan sebelum modern, beradab dan tidak beradab. Dikotomi ini tidaklah “neutral”, karena sebuah kata superior terhadap kata yang lain. Post-structuralist tidak setuju teori de-construction dapat dikatakan sebagai sebuah methodology, namun menganggap bahwa tujuan utamanya adalah mempermasalahkan dikotomi tersebut, memperlihatkan bagaimana ia bekerja, dan pada akhirnya membuka jalan alternative untuk mengerti politik internasional.

3.       Genealogy (silsilah)
      Konsep genealogy diperkenalkan oleh Michael Foucault, yang ia sebut sebagai “history of present.” Contohnya, adalah sebuah genealogy tentang perubahan iklim, pertanyaannya adalah, siapa yang berhak bicara dan mengambil keputusan pada sesebuah event atau peristiwa, seperti Pertemuan tentang Iklim di Copenhagen, 2009. Kemudian, hal yang di de-konstruksi adalah “Iklim” dan “tanggung jawab global” yang dominan dan bagaimana konstruksi ini bergantung pada discourse sebelumnya. Dengan meilhat pada sejarah, kita dapat melihat jalan alternative untuk mengkonseptualisasi hubungan manusia dengan “iklim” dan memahami struktur material yang berhubungan dengan masa sekarang.
Post-structuralism  memahami bahwa “ilmu pengetahuan” bukanlah terpisah dari konsep “power” yang bertumpu hanya dari segi material saja. Namun,  adalah bagian yang tidak terpisahkan dari konsep power tersebut. Contohnya adalah bagaimana bangsa barat “memperoleh ilmu pengetahuan” tentang bangsa bukan barat yang dideskripsikan sebagai inferior, terbelakang, tidak berkembang, dan terkadang tidak beradab. Hal ini membuat “identitas “yang lain ada dan dapat dikaji. Secara luas, posisi ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk memberikan otorisasi terhadap isu-isu tertentu.
Dibandingkan dengan Constructivism, yang juga memiliki esensi “ilmu pengetahuan dan identitas”, post-structuralism melihat lebih kritis kepada “awal” terbentuknya actor menjadi sebuah actor.

4.       Intertextuality
         Teori intertextuality dibangun oleh Julia Kristeva. Ia beranggapan bahwa kita dapat memahami dunia social dalam rangkaian teks-teks, yang membentuk intertext, yang berkaitan dengan dengan teks-teks sebelumnya. Intertextuality juga menggambarkan bahwa ada “sesuatu” hal yang ditentukan tanpa perlu disebutkan kembali karena pada tujuannya telah merujuk pada “sesuatu” tersebut. Contohnya, dalam dokumen NATO tidak perlu disebutkan kata “Uni Sovyet” sebagai musuh terlalu banyak, karena pada dasarnya pembentukan NATO adalah bertujuan untuk mengcounter kekuatan Uni Sovyet.


-     Popular culture (kebudayaan popular)
        Argumennya adalah, kita seharusnya melihat politik internasional secara post-structuralism melalui “teks” yang tidak biasanya dilakukan oleh para ahli teori hubungan internasional yang lain. Para ahli seperti, James Der Derian, Michael J. Shapiro dan Cynthia Weber memperlajari intertext popular seperti novel mata-mata, journalism, analisa akademik, TV shows, film dan photography. Mereka beranggapan bahwa para akademisi IR (International relations, Hubungan internasional) seharusnya juga melihat pada aspek kebudayaan popular. Dalam beberapa hal, sebuah negara terkadang mengambil serius tentang kebudayaan popular negara tersebut. Contohnya, seperti terdapat dalam film-film Amerika Serikat seperti Spiderman, Superman atau Captain America. Di  dalam fim tersebut selalu terdapat scene yang memperlihatkan bendera Amerika Serikat, hal ini seakan-akan untuk mempromosikan Amerika Serikat sebagai kekuatan besar yang memiliki Super Hero yang senantiasa membantunya, walaupun hal tersebut merupakan hal yang fiksi.

0 Response to "Post-structuralism"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel